Selasa, 22 Desember 2015

PERKEMBANGAN INDUSTRI MIGAS DI INDONESIA



 PERKEMBANGAN INDUSTRI MIGAS DI INDONESIA

Keadaan Industri Indonesia saat ini bisa dikatakan mengalami peningkatan yang cukup baik dari tahun ke tahun, walaupun peningkatan yang didapatkan Negara Indonesia ini masih dianggap dalam ambang lemah. Indonesia sebagai negara yang banyak mengalami berbagai masalah industri seperti lokasi industri yang berada di tengah pemukiman, menggeser lahan pertanian, pencemaran lingkungan, dan pemutusan hubungan kerja, menyebabkan keberadaan industri dalam negeri ini melemah, Karena itu, penanganan yang serius dari berbagai pihak perlu dilakukan terutama dari pemerintah sendiri seperti pengawasan yang terus dilakukan, dan lokasi tidak mengganggu lahan pertanian yang produktif, terutama lokasi di pinggiran kota. Di samping itu, perlu juga meningkatkan dan melindungi industri rakyat dalam bentuk industri kecil dan kerajinan sebagai warisan budaya bangsa, agar jangan sampai diakui menjadi milik bangsa lain. Begitupula produk industri diprioritaskan untuk memenuhi kehidupan masyarakat banyak sebelum dilakukan ekspor, sehingga tidak semata-mata keuntungan yang dicari melainkan keuntungan dan kebutuhan masyarakat.

Ø  Perkembangan Sektor Non Migas
Banyaknya sektor yang bermasalah inilah yang memicu saya ingin mengembangkan industri di Indonesia. Pada kesempatan kali ini saya ingin mengembangkan Industri Migas karena. Industri Migas di Indonesia menurut saya masih mengalami kesulitan. Dapat dilihat saat ini Indonesia bertumpu pada sektor Industri Non Migas. Ditengah hiruk pikuknya tuntutan kenaikan Upah Minimun Propinsi (UMP) yang perlu dicarikan solusi cepat oleh Pemerintah, Dunia Usaha dan Pekerja, sehingga tidak mengganggu kinerja sektor industri dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Industri Pengolahan Non Migas masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional selama tahun 2012. Sesuai dengan data EPS yang diolah Kementerian Perindustrian pada triwulan III 2012 misalnya, sektor ini menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 7,3% yoy. Walaupun industri migas mengalami kontraksi sekitar 5%, namun tingginya pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas mengakibatkan Sektor Industri Pengolahan mengalami pertumbuhan sebesar 6,4% yoy. Sebagaimana disampaikan Menteri Perindustrian M S Hidayat dalam paparan akhir tahun 2012 lalu, pertumbuhan sebesar 6,4% tersebut Sektor Industri Pengolahan menjadi motor pertumbuhan utama dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi terbesar pada triwulan III 2012.
Meskipun ketidakpastian perekonomian dunia masih terus berlangsung, namun kondisi perekonomian Indonesia tetap berjalan dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Pada triwulan III 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 6,2% (yoy), dan merupakan pertumbuhan tertinggi kedua di Asia setelah China, dan ke-5 tertinggi di dunia.
Dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,2% itu, Sektor Industri Pengolahan menyumbang pertumbuhan sebesar 1,62%. Kemudian diikuti oleh Sektor Perdagang'an, Hotel, dan Restoran yang menyumbang sebesar 1,22% dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi menyumbang sebesar 1,02%. Sedangkan kontribusi sektor-sektor lainnya di bawah 1%.
Dicapainya pertumbuhan Industri Non Migas sebesar 7,3% pada triwulan III 2012, tidak saja lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan II2012 sebesar 6,1%, tetapi juga lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan III tahun 2011 yang mencapai 7,2% (yoy). Dengan pertqmbuhan sebesar 7,3% tersebut, fnaka pertumbuhan Industri Non Migas kembali lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasibnal. Dan dengan pertumbuhan tersebut, maka secara kumulatif hingga triwulan III tahun 2012, pertumbuhan Industri Non Migas mencapai sebesar 6,5%.
            Pertumbuhan industri tersebut didukung oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat, dan meningkatnya investasi di sektor industri secara sangat signifikan sehingga menyebabkan tetap terjaganya kinerja sektor industri manufaktur hingga saat ini. Beberapa investasi yang menonjol pada Januari-September 2012 nilai investasi PMA pada Industri Non Migas mencapai sekitar US$ 8,6 milyar, atau meningkat 65,9% terhadap nilai investasi pada periode yang sama tahun 2011. Sementara nilai investasi PMDN pada Januari-September 2012 mencapai Rp 38,1 triliun, atau meningkat sebesar 40,19% dari periode yang sama tahun sebelumnya.Dicapainya pertumbuhan industri non migas sebesar 6,5% hingga triwulan III 2012 didukung oleh kinerja pertumbuhan sebagian besar kelompok Industri Non Migas, yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi. Pertumbuhan tertinggi dicapai kelompok Industri Pupuk, Kimia & Barang dari karet sebesar 8,91%. Kemudian diikuti kelompok Industri Semen dan Barang Galian Bukan Logam sebesar 8,75%. Kelompok Industri Makanan, Minuman dan Tembakau, di ururutan berikutnya dengan pertumbuhan 8,22%, dan kelompok Industri Alat Angkut, Mesin dan Peralatannya sebesar 7,52%. Urutan berikutnya kelompok Industri Logam Dasar Besi dan Baja yang tumbuh sebesar 5,70%, dan kelompok Industri Tekstil, Barang Kulit & Alas Kaki sebesar 3,64%. Hasil-hasil yang dicapai tidak terlepas dari kebijakan dan upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah serta didukung oleh para pelaku usaha dan masyarakat dalam rangka pengembangan dan peningkatan daya saing industri nasional.
           
Program dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam pengembangan industri yang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional menjadi program prioritas yaitu:
1)Program Hilirisasi Industri Berbasis Agro, Migas, dan Bahan Tambang Mineral.
2)Program Peningkatan Daya Saing Industri Berbasis SDM, Pasar Domestik, dan Ekspor.
3)Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah dan lain sebagainya.

Tantangan dan peluang industri tahun 2013 masih sangat tergantung pada kondisi perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa yang masih diwarnai ketidakpastian. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan. Akan tetapi, dengan terus membaiknya kinerja sektor industri non migas dan pesatnya peningkatan investasi di sektor ini, maka pada tahun 2013 pertumbuhan indutri non migas diperkirakan bisa mencapai sedikitnya 6,8%. Bahkan jika upaya-upaya maksimal bisa dilakukan, industri non migas diperkirakan bisa tumbuh sekitar 7,1%, dimana dalam hal ini Industri Pupuk, Kimia & Barang dari karet, Industri Semen & Barang Galian bukan logam; Industri Makanan & Minuman, dan Industri Otomotif diharapkan bisa menjadi motor pertumbuhan industri manufaktur. Apabila berbagai permasalahan yang menghambat pertumbuhan sektor industri seperti penyediaan infrastuktur, ketersediaan gas, listrik dan iklim investasi yang kondusif dapat ditemukan solusinya, maka sektor industri di yakini dapat berperan lebih besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan pertumbuhan industri non migas tersebut, maka pertumbuhan sektor industri pengolahan secara keseluruhan diperkirakan bisa mencapai 6,2 - 6,5% pada tahun 2013 dan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan bisa mencapai 6,2 - 6,7%.

Ø  Permasalahan Industri Migas di Indonesia
Kita semua tahu Indonesia tersohor karena sumber daya alamnya yang berlimpah tak terkecuali sumber daya alam migas. Tercatat dalam laporan BP Migas, penurunan produksi minyak Indonesia terus menurun sejak tahun 2002 hingga sekarang. Padahal sektor industri Indonesia sangat menggantungkan nasibnya terhadap energi fosil itu. Tak pelak lagi, proses industrialisasi Indonesia pun tersendat-sendat hingga akhirnya pemerintah melayangkan kebijakan mengimpor minyak. Sejak saat itulah Indonesia resmi mendapatkan julukan net importer dan neraca energi Indonesia selalu bernilai negatif.
Indonesia memiliki Blok Mahakam yang merupakan blok migas terbesar di Indonesia. Siapa menyangka selama kurun waktu 50 tahun Blok Mahakam dikuasai oleh pihak Asing yakni perusahaan asal Perancis, Total SA mulai dari Kontrak Kerja Sama I Tahun 1967-1997 dan KKS II 1997-2017. Tentu hal itu bagi saya sangatlah memprihatinkan dan maka dari itu saya sangat ingin mengembangkan Industri Migas dan mengelolanya bersama ini dan tidak berpangku tangan dengan Negara lain. Pengelolaan sumber daya alam migas berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya, ketika Indonesia mampu mengelola sumber daya alam migas, maka cadangan minyak Indonesia akan terselamatkan dan pertumbuhan ekonomi ikut meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya yakni 16 persen disumbangkan oleh peningkatan kualitas Sumber Daya manusia (SDM), 12 persen oleh akumulasi kapital/investasi, 11 persen merupakan kontribusi dari alokasi sumber daya yang efisien, 34 persen berasal dari kemajuan teknologi, 11 persen lagi berasal dari skala ekonomi dan sisanya 16 persen merupakan kontribusi dari peningkatan penggunaan input. Seandainya kita mampu mengelola dengan tangan sendiri maka sektor migas tentu akan menjadi primadona sumber pendapatan devisa negara. Kementrian ESDM telah mencatat bahwa gas alam, panas bumi, angin, matahari, air, dan uranium mendominasi di negeri ini dan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber energi alternatif. Belum lagi dengan tanahnya yang subur, Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan sumber energi baru bio-fuel. Dengan banyaknya limpahan tersebut kita harus mampu secepat mungkin menguasainya dengan atas nama Negara Indonesia. Terhadap permasalahan energi ini, kerap kali fokus penyelesaian yang ditawarkan pemerintah seringkali terbatas pada apa yang muncul sebagai akibat dan gejalanya saja, dan bukan pada akar permasalahannya. Ibarat rumput yang tumbuh kembali karena akarnya masih tertinggal, begitulah analogi permasalahan energi di Indonesia. Maka kita tidak usah takjub lagi, bahwa rencana Energy Mix Indonesia 2025, dimana didalamnya terdapat renstra penurunan penggunaan energi fosil dan menggantinya dengan EBT, masih terkendala oleh banyak permasalahan energi pendahulunya yang belum selesai. Hingga saat ini, masih terdapat paradigma -cara pandang- yang keliru berkaitan dengan pengelolaan energi di Indonesia. Paradigma pertama adalah penganakemasan isu energi fosil (terutama minyak). Paradigma kedua adalah paradigma sumber energi adalah komoditas penghasil devisa negara. Dan paradigma yang terakhir adalah pembangunan infrastruktur energi dan pengembangan energi alternatif yang diserahkan pada mekanisme pasar. Walaupun semua paradigma diatas tidak pernah ada dalam regulasi energi tertulis Indonesia, namun dalam prakteknya telah terjadi demikian dan sangat jelas terterapkan pada pengelolaan energi ditanah air. Selain itu, sesuai jurnal yang saya dapatkan dikatakan bahkan cadangan migas yang terdeteksi adalah sebanya 19 TCF (Triliiun Cubic Feet).

Ø  Solusi Pengembangan Industri Migas
Pengembangan Industri Migas saat ini sungguh diperjuangkan Pemerintahan saat ini seperti hal nya yang ada dipaparan diatas yang telah dijelaskan. Tentu pada dasarnya yang menjadi masalah utama pada Indutri Migas ini bukan dari Modal ataupun Teknologi yang saat ini digunakan oleh Pertamina, permasalahan klasik itu telah berlalu. Namun yang menjadi titik permasalaan utamanya adalah terletak political will pemerintah yang tidak pro rakyat. Ini terbukti dalam beberapa kasus seperti tambang migas Blok Cepu atau tambang emas Freeport dan Newmont. Dalam kasus Blok Cepu dan Freeport, misalnya, karena   tekanan amerika   dengan begitu mudahnya Blok Cepu  diserahkan kepada Exxon Mobile, sedangkan tambang emas di Irian Jaya terus dibiarkan dikuasai  Freeport. Akibatnya, kekayaan di negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal oleh rakyatnya. Pada tambang migas, saat ini  ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama: Super Major, terdiri ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Kedua: Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Ketiga: perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.  Dalam kasus PT Freeport Indonesia, dari tambang di Papua tersebut Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp 50–100 triliun pertahun andai pengelolaan tambang itu dikelola oleh negara bukan swasta. Sebagian besar tambang nikel juga dinikmati oleh perusahaan Jepang karena hampir 53% kebutuhan industri nikel Jepang dipasok dari hasil tambang nikel Indonesia. PoIitical will yang tidak pro rakyat ini  muncul dari pola pikir atau mindset  pemerintah yang liberal dan kapitalistik yang  didukung oleh DPR. Lahirlah UU dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009. Menurut UU tersebut, BUMN kedudukannya  disejajarkan dengan perusahaan-perusahan swasta, termasuk asing, bahkan anehnya BUMN cenderung dianaktirikan.  Tentu bagi mereka yang masih memiliki nurani akan mempertanyakan: ada apa di balik kebijakan pemerintah yang selalu mengutamakan kepentingan para kapitalis asing dibandingkan dengan kepentingan rakyat?
Maka, solusi yang tepat dari adalah merubah UU yang telah ditetapkan dan menciptakan UU yang baru dimana 100% absolut hasil alam dan terutama yaitu bagian migas berada ditangan kita dan tidak campur tangan oleh orang asing. Juga, walaupun saat ini teknologi di Pertamina sudah bagus dan memuaskan namun, seiring dengan berjalannya waktu maka pasti teknologi akan semakin berkembang dengan pesat dan tidak mungkin laju teknolodi berhenti. Oleh karena itu, saya ingin menciptakan juga sebuah teknologi yang dimana teknologi tersebut mampu mengembangkan Industri Migas di Indonesia ini. Teknologi yang ingin saya buat bisa dikatakan merupakan teknologi inovasi yang merupakan inovasi dari Tekonologi Fracking yang dimiliki Amerika. Tapi teknologi fracking masih kontroversial di Amerika, menurut lembaga pemerhati lingkungan, peningkatan produksi berarti resiko yang lebih besar bagi pantai seperti di California yang pernah terkena dampak pecahnya pipa yang menumpahkan lebih dari 100 ribu gallon minyak mentah. Jangankan di Amerika, di seluruh negara mana pun peningkatan produksi bahan tambang selalu mengancam lingkungan, mulai dari human error atau ketidakmampuan perusahaan dalam mengawasi peningkatan produksi. Jerman adalah salah satu Negara yang memperdebatkan tentang penggunaan fracking karena khawatir terjadi pencemaran lingkungan. Salah satu alasannya adalah bahan kimia yang digunakan beracun dan bisa mencemari sumber air minum. Oleh karena itu, saya akan membuat inovasi dari Teknologi Fracking tersebut dimana saya akan memerhatikan seluk beluk permasalahan dari teknologi tersebut dan membuatnya sebagai teknologi yang safety. Pada dasarnya memang, akan menggunakan bahan kimia juga. Namun, seiring dengan perkembangan waktu pasti akan dapat menanggulangi bahaya bahan kimia tersebut. Yang hebat dari Amerika ialah, migas yang mereka miliki 100% mereka yang menguasai demi kestabilitas Negara mereka. Maka dari itu, saya akan membuatnya jauh lebih baik lagi dan mampu menyamai Indonesia seperti Amerika sebagai Produsen nomor 1 di Dunia.









Referensi :
Anonymous. “Perekonomian Indonesia”. 13 Desember 2015. http://perekonomianindonesia2013.blogspot.co.id/2013/05/kondisi-industri-di-indonesia.html
Dwi Martiningrum, Faradina, Dr. Ir. Sri Gunani Partiwi, M.T, dan Prof. Dr. Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M.Eng. “ANALISIS KINERJA KLASTER INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI (MIGAS) DI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM” . http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-9437-2506100034-Paper.pdf, 13 Desember 2015.
Harun, Jahrizal, Desember 2009. “Permasalahan Minyak dan Gas (Migas) di Riau”. Jurnal Ekonomi, Volume 17, Nomor 3, 13 Desember 2009.
Ramli, Aida. “Pengelolaan Sumber Daya Migas Berkelanjutan”. 13 Desember 2015. http://www.kompasiana.com/aidaramli/pengelolaan-sumber-daya-migas berkelanjutan_555014730523bd391c07d72a
Wijayanto, Nanang. “Rupiah Melemah, Industri Migas dalam Kondisi Sulit”. 13 Desember 2015. http://ekbis.sindonews.com/read/1037309/34/rupiah-melemah-industri-migas-dalam-kondisi sulit-1440579273


Tidak ada komentar:

Posting Komentar